Sunday, February 19, 2012

Revolusi Darul Islam (1949-1965) - Sejarah Indonesia


Pada hakikatnya gerakan ini tidak jauh berbeda dengan Paderi dan Diponegoro, membersihkan Nusantara dari imperialisme non Muslim, terutama Barat, sekaligus mewujudkan tatanan masyarakat yang Islami yang sekian lama tertunda akibat konflik dengan imperialis.

Perbedaannya adalah, Imam Bonjol dan Diponegoro belum memiliki konsep yang nyata tentang tatanan masyarakat Islami. Memang Diponegoro jelas berniat mewujudkan negara Islam namun konsepnya belum terjabarkan, yang mungkin terbayang olehnya adalah masyarakat –tegasnya negara– Islami terwujud jika individunya memahami dan mengamalkannya. Belum terjabarkan susunan negara, rancangan konstitusi, konsep politik, ekonomi dan hukum berdasar syari’at.

Kartosoewirjo-lah yang relatif lebih maju beberapa langkah dibanding kedua tokoh tersebut. Walaupun revolusinya ditumpas kelompok sekuler, dia sukses mewujudkan tatanan masyarakat Islami dalam bentuk negara berdasar syari’at dalam teori dan praktek. Pemikiran tentang masyarakat Islam telah ditulis dengan lugas selama perioda kolonial Belanda, bahkan pembinaan kader-kader Muslim sempat terwujud dalam lembaga pendidikan yang disebut “Institut Suffah” di Malangbong. Lembaga tersebut sempat ditutup pemerintah pendudukan Jepang namun dibuka kembali bahkan dengan menambah kurikulum ilmu militer.

Ketika pasukan Republik harus mengosongkan Jawa Barat sebagai hasil Persetujuan Renville 1948 yang cenderung merugikan Republik, dia mempersiapkan pembentukan negara idamannya antara lain dengan menulis konstitusi, menyusun pemerintahan dengan segala kelengkapannya dengan konsep pelaksanaan teknis yang jelas.

Negara tersebut sungguh terwujud pada 7 Agustus 1949 yang mencakup –minimal teoritis– seantero bekas wilayah Hindia Belanda, negara tersebut sungguh merupakan alternatif bagi Republik Indonesia yang bercorak sekuler.

Berbasis di Jawa Barat, Kartosoewirjo sempat memperluas pengaruhnya ke sejumlah wilayah yaitu:

1. Jawa Tengah, dirintis oleh Amir Fatah Wijayakusumah dan Kiyahi Somalangu.
2. Aceh, dirintis oleh Teungku Muhammad Daud Beureuh (1900-1987).
3. Kalimantan Selatan, dirintis oleh Ibnu Hadjar.
4. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dirintis oleh Kahar Muzakkar.

Berbagai usaha untuk mendamaikan kedua negara tersebut berulang dilaksanakan namun gagal, karena pengaruh kelompok sekuleris yang terdiri atas nasionalis dan komunis. Mereka agaknya terpengaruh oleh didikan Barat yang diterima, bahwa apa yang disebut negara Islam adalah “monster” atau “berbahaya”. Pemerintah Republik cenderung menonjolkan pendekatan militeristik dibanding politis atau agamis, yang berakibat NII tertumpas dan sekian lama difitnah sebagai “pemberontak”, “ekstremis” atau “separatis”.

Dengan suasana yang relatif lebih demokratis pasca rezim orde baru, perlu penelitian ulang secara serius tentang NII dan segala yang terkait dengannya.

No comments: