Perjuangan
melawan imperialis Barat sejak 1511 praktis memakai apa yang disebut dengan
“sistek” (sistem senjata teknologi), hal tersebut berlangsung hingga awal abad
ke-20, dan gagal mengusir mereka. Mengenai teknologi militer, bangsa ini boleh
dinilai setaraf dengan Barat hingga sekitar setengah pertama abad ke-19. Berkat
“Revolusi Industri” terlebih dahulu dikenal Barat pada pertengahan abad ke-18,
untuk pertama kalinya Barat mengungguli Timur dalam banyak bidang, termasuk
teknologi. Penduduk Nusantara turut merasakan dampak keunggulan Barat akibat
revolusi tersebut, Barat mampu menambah jumlah dan mutu hasil teknologinya
karena sebagian tenaga manusia dapat diganti dengan tenaga mesin.
Selain itu Barat memiliki keunggulan dalam konsep yang disebut “sissos” (sistem senjata sosial), mereka –khususnya Belanda– boleh dibilang masyarakat yang lebih seragam dibanding Timur, khususnya Nusantara. Belanda telah membentuk diri menjadi satu bangsa sejak abad-16, ketika menyatakan lepas dari Spanyol dan membentuk “Republik Tujuh Negeri Belanda Bersatu”. Jelas, bahwa Belanda lebih dahulu menyadari betapa penting persatuan dan kesatuan bangsa dibanding penduduk Nusantara.
Ketika imperialisme Barat hadir, Nusantara terbagi-bagi dalam beberapa suku atau kerajaan. Belum ada bangsa Indonesia, yang ada ialah bangsa Jawa, bangsa Sunda, bangsa Minang, bangsa Aceh, bangsa Bugis, bangsa Ambon dan lain-lain. Pembagian tersebut adalah peluang untuk perpecahan dan Belanda memanfaatkannya dengan cerdik. Bukan jarang pecah belah dapat tercipta antara satu keluarga monarki semisal perselisihan antara Sultan ‘Abdul Fattah Ageng Tirtayasa dengan anaknya yaitu Sultan ‘Abdul Qahhar di Banten, yang berakibat Banten kalah melawan Belanda. Konsep pecah belah dan jajah tersebut dikenal dengan “devide et impera”.
Perpecahan di bidang sosial dan ketertinggalan di bidang teknologi berpadu menuntun pribumi menuju kekalahan berturut-turut.
Pada awal abad ke-20 tampil suasana baru dalam percaturan dunia, yang sedikit banyak berdampak ke Nusantara atau lazim dikenal ketika itu dengan “Hindia Belanda” (Nederlands Oost Indische). Sejak pertengahan abad ke-19 muncul gerakan humanisme di Belanda yang mengkritik kezhaliman rezim kolonial. Dipelopori antara lain Van Deventer dan Douwes Dekker, gerakan tersebut mencapai hasil pada awal abad ke-20 dengan perubahan sikap pemerintah Belanda untuk menciptakan hubungan saling menguntungkan antara Belanda dengan rakyat Hindia Belanda namun dalam lingkup kekuasaan Belanda. Sikap tersebut dikenal dengan istilah eereschuld atau de etische politiek yang sering diterjemahkan dengan politik balas budi. Konsep ini berdasar pemikiran bahwa Belanda telah sangat berhutang budi kepada bangsa Hindia: banyak mengambil namun nyaris tak memberi sedikit pun. Singkatnya, “menjajah boleh saja tapi yang manusiawi dong”.
Berbagai perangkat kemudian mengalir dari Eropa ke Hindia, pembangunan jalur rel, jalur aspal, sekolah, irigasi dan sebagainya dilaksanakan untuk mensejahterakan rakyat. Pendidikan dilaksanakan walau terkesan pilih kasih dan materi pendidikan diarahkan untuk melayani Belanda, bukan memimpin Hindia Belanda. Kelak dari pendidikan tersebut muncul lapisan intelek pribumi, suatu hal yang tidak diinginkan oleh rezim karena mereka akan membangkitkan kesadaran rakyat untuk faham hak dan kewajibannya, dan kecemasan itu terbukti nanti.
Namun Belanda harus menempuh resiko itu supaya tidak terus menerus dikecam sebagai pelit, rakus atau biadab.
Boleh dibilang bersamaan waktunya, dunia Timur mulai bangkit. Gerakan tersebut muncul antara lain di Cina, India dan Mesir. Kebangkitan Timur yang spektakuler saat itu adalah Perang Rusia-Jepang (1904-1905) yang berakhir dengan kemenangan Jepang. Peristiwa itu membangkitkan rasa percaya diri Timur dan menggoyang mitos keunggulan ras Barat. Agaknya awal abad ke-20 adalah awal Renaissance Timur.
Versi sejarah yang resmi menyebut bahwa Indonesia mengalami apa yang disebut dengan Hari Kebangkitan Nasional adalah dengan lahir organisasi bernama Boedi Oetomo (Budi Utomo) pada 20 Mei 1908. Agaknya hal tersebut perlu penelitian ulang mengingat organisasi tersebut tidak mencerminkan kebangsaan dan kerakyatan namun kesukuan dan keelitan. Budi Outomo hanya menerima suku Jawa dan Madura serta elit pula. Penulis cenderung berpendapat bahwa kebangkitan nasional dimulai dari pembentukan Jamiyyatul Khairiyyah pada 1901. Walaupun dibentuk oleh keturunan Arab namun terbuka bagi Muslim lain, umat mayoritas di Indonesia sehingga dapat mewakili bangsa Indonesia.
Ada pula yang berpendapat bahwa Kebangkitan Nasional dimulai dari pembentukan Serikat Dagang Islam pada 1905.
Seiring berjalan waktu, muncul berbagai organisasi, ada parpol ada ormas semisal Muhammadiyah, Nahdhatul ‘Ulama, De Indische Partij, Indische Social Democratische Vereeniging, Partai Nasional Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond dan lain-lain. Mereka turut memberi pencerahan terhadap rakyat sesuai dengan faham dan kapasitasnya, dan kelak muncul 3 kelompok ideologi utama yang menjadi campuran dahsyat sekaligus goyah menghadapi imperialis yaitu, nasionalis, agamis dan komunis. Tiga kelompok tersebut akan saling bentrok hingga berdarah-darah bahkan ketika perjuangan kemerdekaan belum selesai. Kini yang tersisa adalah kelompok nasionalis dan agamis karena komunis ditumpas pada Revolusi 1965.
Perioda ini mulailah muncul benih-benih rasa senasib dan sepenanggungan sehingga dalam peristiwa yang disebut Sumpah Pemuda beberapa tokoh pergerakan sepakat untuk membentuk bangsa baru yaitu Indonesia. Penulis menilai ini adalah suatu pencerahan yang cemerlang karena rakyat seantero Nusantara –dengan Muslim sebagai mayoritas– dipersatukan, suatu langkah awal atau cikal bakal menuju ukhuwwah Islamiyyah. Penulis teringat kutipan dalam kitab suci, “… ingat ketika kamu dahulu saling bermusuhan maka tuhan melunakkan hatimu dan dengan nikmat tuhan kamu menjadi bersaudara…,” dan juga, “… berpeganglah pada tali tuhan dan jangan kamu bercerai-berai…..”
Selain itu Barat memiliki keunggulan dalam konsep yang disebut “sissos” (sistem senjata sosial), mereka –khususnya Belanda– boleh dibilang masyarakat yang lebih seragam dibanding Timur, khususnya Nusantara. Belanda telah membentuk diri menjadi satu bangsa sejak abad-16, ketika menyatakan lepas dari Spanyol dan membentuk “Republik Tujuh Negeri Belanda Bersatu”. Jelas, bahwa Belanda lebih dahulu menyadari betapa penting persatuan dan kesatuan bangsa dibanding penduduk Nusantara.
Ketika imperialisme Barat hadir, Nusantara terbagi-bagi dalam beberapa suku atau kerajaan. Belum ada bangsa Indonesia, yang ada ialah bangsa Jawa, bangsa Sunda, bangsa Minang, bangsa Aceh, bangsa Bugis, bangsa Ambon dan lain-lain. Pembagian tersebut adalah peluang untuk perpecahan dan Belanda memanfaatkannya dengan cerdik. Bukan jarang pecah belah dapat tercipta antara satu keluarga monarki semisal perselisihan antara Sultan ‘Abdul Fattah Ageng Tirtayasa dengan anaknya yaitu Sultan ‘Abdul Qahhar di Banten, yang berakibat Banten kalah melawan Belanda. Konsep pecah belah dan jajah tersebut dikenal dengan “devide et impera”.
Perpecahan di bidang sosial dan ketertinggalan di bidang teknologi berpadu menuntun pribumi menuju kekalahan berturut-turut.
Pada awal abad ke-20 tampil suasana baru dalam percaturan dunia, yang sedikit banyak berdampak ke Nusantara atau lazim dikenal ketika itu dengan “Hindia Belanda” (Nederlands Oost Indische). Sejak pertengahan abad ke-19 muncul gerakan humanisme di Belanda yang mengkritik kezhaliman rezim kolonial. Dipelopori antara lain Van Deventer dan Douwes Dekker, gerakan tersebut mencapai hasil pada awal abad ke-20 dengan perubahan sikap pemerintah Belanda untuk menciptakan hubungan saling menguntungkan antara Belanda dengan rakyat Hindia Belanda namun dalam lingkup kekuasaan Belanda. Sikap tersebut dikenal dengan istilah eereschuld atau de etische politiek yang sering diterjemahkan dengan politik balas budi. Konsep ini berdasar pemikiran bahwa Belanda telah sangat berhutang budi kepada bangsa Hindia: banyak mengambil namun nyaris tak memberi sedikit pun. Singkatnya, “menjajah boleh saja tapi yang manusiawi dong”.
Berbagai perangkat kemudian mengalir dari Eropa ke Hindia, pembangunan jalur rel, jalur aspal, sekolah, irigasi dan sebagainya dilaksanakan untuk mensejahterakan rakyat. Pendidikan dilaksanakan walau terkesan pilih kasih dan materi pendidikan diarahkan untuk melayani Belanda, bukan memimpin Hindia Belanda. Kelak dari pendidikan tersebut muncul lapisan intelek pribumi, suatu hal yang tidak diinginkan oleh rezim karena mereka akan membangkitkan kesadaran rakyat untuk faham hak dan kewajibannya, dan kecemasan itu terbukti nanti.
Namun Belanda harus menempuh resiko itu supaya tidak terus menerus dikecam sebagai pelit, rakus atau biadab.
Boleh dibilang bersamaan waktunya, dunia Timur mulai bangkit. Gerakan tersebut muncul antara lain di Cina, India dan Mesir. Kebangkitan Timur yang spektakuler saat itu adalah Perang Rusia-Jepang (1904-1905) yang berakhir dengan kemenangan Jepang. Peristiwa itu membangkitkan rasa percaya diri Timur dan menggoyang mitos keunggulan ras Barat. Agaknya awal abad ke-20 adalah awal Renaissance Timur.
Versi sejarah yang resmi menyebut bahwa Indonesia mengalami apa yang disebut dengan Hari Kebangkitan Nasional adalah dengan lahir organisasi bernama Boedi Oetomo (Budi Utomo) pada 20 Mei 1908. Agaknya hal tersebut perlu penelitian ulang mengingat organisasi tersebut tidak mencerminkan kebangsaan dan kerakyatan namun kesukuan dan keelitan. Budi Outomo hanya menerima suku Jawa dan Madura serta elit pula. Penulis cenderung berpendapat bahwa kebangkitan nasional dimulai dari pembentukan Jamiyyatul Khairiyyah pada 1901. Walaupun dibentuk oleh keturunan Arab namun terbuka bagi Muslim lain, umat mayoritas di Indonesia sehingga dapat mewakili bangsa Indonesia.
Ada pula yang berpendapat bahwa Kebangkitan Nasional dimulai dari pembentukan Serikat Dagang Islam pada 1905.
Seiring berjalan waktu, muncul berbagai organisasi, ada parpol ada ormas semisal Muhammadiyah, Nahdhatul ‘Ulama, De Indische Partij, Indische Social Democratische Vereeniging, Partai Nasional Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond dan lain-lain. Mereka turut memberi pencerahan terhadap rakyat sesuai dengan faham dan kapasitasnya, dan kelak muncul 3 kelompok ideologi utama yang menjadi campuran dahsyat sekaligus goyah menghadapi imperialis yaitu, nasionalis, agamis dan komunis. Tiga kelompok tersebut akan saling bentrok hingga berdarah-darah bahkan ketika perjuangan kemerdekaan belum selesai. Kini yang tersisa adalah kelompok nasionalis dan agamis karena komunis ditumpas pada Revolusi 1965.
Perioda ini mulailah muncul benih-benih rasa senasib dan sepenanggungan sehingga dalam peristiwa yang disebut Sumpah Pemuda beberapa tokoh pergerakan sepakat untuk membentuk bangsa baru yaitu Indonesia. Penulis menilai ini adalah suatu pencerahan yang cemerlang karena rakyat seantero Nusantara –dengan Muslim sebagai mayoritas– dipersatukan, suatu langkah awal atau cikal bakal menuju ukhuwwah Islamiyyah. Penulis teringat kutipan dalam kitab suci, “… ingat ketika kamu dahulu saling bermusuhan maka tuhan melunakkan hatimu dan dengan nikmat tuhan kamu menjadi bersaudara…,” dan juga, “… berpeganglah pada tali tuhan dan jangan kamu bercerai-berai…..”
No comments:
Post a Comment