BEBERAPA USAHA PERBAIKAN
SETELAH pembaca “disuguhi” info tentang kejahiliyahan bangsa ini, khususnya kaum Muslim, mengingat mayoritasnya, rasanya kurang adil jika tidak dijelaskan bahwa ada beberapa usaha perbaikan. Manusia tidak ada 100% jahat dan juga tidak ada 100% baik, hal tersebut berlaku juga untuk bangsa Indonesia. Layak diketahui bahwa riwayat bangsa ini juga terdapat sosok-sosok terbaiknya, terlepas apakah usaha mereka sukses atau gagal. Manusia mungkin wajib usaha, tapi tidak wajib hasil.
Sesungguhnya begitu banyak usaha perbaikan dalam rangka meraih kembali capaian prestasi kemanusiaan bangsa ini sejak abad ke-16, awal perioda jahiliyah akibat kehadiran imperialis Barat. Tegasnya usaha perbaikan tersebut muncul nyaris bersamaan dengan usaha merusak bangsa ini oleh imperialis dan anteknya.
Setelah memikirkan sematang mungkin, penulis hanya menjelaskan lima peristiwa atau usaha perbaikan, terlepas dari soal sukses atau gagal. Kelima peristiwa tersebut memiliki bobot pembaharuan yang relatif sangat jelas, bukan sekadar perjuangan anti imperialis untuk mempertahankan tatanan yang ada. Walaupun Perang Aceh adalah perjuangan anti kolonial yang terlama di Nusantara atau mungkin terlama di Asia Tenggara, dengan korban sedemikian mengerikan, namun perjuangan tersebut tidak memiliki bobot pembaharuan. Para aktivis anti kolonial hanya membela tatanan yang ada selama berabad-abad dari pengaruh yang dinilai buruk yang dibawa kolonial. Tidak nampak usaha atau unsur perubahan dengan niat menuju tatanan yang lebih baik, apapun istilahnya, ke zaman depan.
Kesultanan Aceh tidak melaksanakan pembaharuan padahal ancaman perluasan kolonial, walau secara samar, sudah ada sejak akhir Perang Napoleon. Berdasar ketetapan para pemenang, wilayah jajahan Belanda yang sempat direbut Inggris harus dikembalikan kepada Belanda. Dan berdasar pengalaman yang lalu, Belanda pasti melanjutkan usaha perluasan wilayah jajahan, yang sempat tertunda akibat VOC bangkrut dan Revolusi Perancis I (1789-1815). Revolusi tersebut sempat menempatkan Belanda di bawah kekuasaan Perancis. Kelak niat tersebut terbukti dari beberapa manuver politik dan militer Belanda di Sumatera yang makin mendekati wilayah taklukan Aceh, namun entah kenapa Aceh tidak segera melaksanakan modernisasi.
Berbeda hal dengan Jepang. Begitu diketahui nafsu imperialis Barat ingin menempatkan Jepang di bawah kuasa mereka sebagai dampak “Perjanjian Shimoda” 1854, sekelompok samurai menyadari betapa penting melaksanakan modernisasi. Rezim Shogun (1192-1868) yang dinilai sebagai penghalang pembaharuan, ditumbangkan melalui revolusi yang tanpa diduga berkepanjangan hingga 1945, ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II (tanggal 1 September 1939 hingga 2 September). Revolusi tersebut mencakup pembangunan dan peperangan, walau akhirnya Jepang kalah perang namun pembaharuan yang dilaksanakan pada abad ke-19 tersebut menjadi dasar atau ilham kebangkitan Jepang pasca Perang Dunia II.
Pembaharuan yang ditempuh Jepang ketika itu agaknya memakai konsep “mengalah untuk menang”. Untuk meredam nafsu imperialis Barat, dengan cerdik Barat dirangkul dengan cara meniru kemajuan mereka. Para intelek Barat diundang untuk membangun Jepang, hasilnya “oke punya”: pada awal abad-20 Jepang boleh dianggap canggih setaraf Barat dan terhindar dari penaklukan oleh Barat hingga 1945.
SETELAH pembaca “disuguhi” info tentang kejahiliyahan bangsa ini, khususnya kaum Muslim, mengingat mayoritasnya, rasanya kurang adil jika tidak dijelaskan bahwa ada beberapa usaha perbaikan. Manusia tidak ada 100% jahat dan juga tidak ada 100% baik, hal tersebut berlaku juga untuk bangsa Indonesia. Layak diketahui bahwa riwayat bangsa ini juga terdapat sosok-sosok terbaiknya, terlepas apakah usaha mereka sukses atau gagal. Manusia mungkin wajib usaha, tapi tidak wajib hasil.
Sesungguhnya begitu banyak usaha perbaikan dalam rangka meraih kembali capaian prestasi kemanusiaan bangsa ini sejak abad ke-16, awal perioda jahiliyah akibat kehadiran imperialis Barat. Tegasnya usaha perbaikan tersebut muncul nyaris bersamaan dengan usaha merusak bangsa ini oleh imperialis dan anteknya.
Setelah memikirkan sematang mungkin, penulis hanya menjelaskan lima peristiwa atau usaha perbaikan, terlepas dari soal sukses atau gagal. Kelima peristiwa tersebut memiliki bobot pembaharuan yang relatif sangat jelas, bukan sekadar perjuangan anti imperialis untuk mempertahankan tatanan yang ada. Walaupun Perang Aceh adalah perjuangan anti kolonial yang terlama di Nusantara atau mungkin terlama di Asia Tenggara, dengan korban sedemikian mengerikan, namun perjuangan tersebut tidak memiliki bobot pembaharuan. Para aktivis anti kolonial hanya membela tatanan yang ada selama berabad-abad dari pengaruh yang dinilai buruk yang dibawa kolonial. Tidak nampak usaha atau unsur perubahan dengan niat menuju tatanan yang lebih baik, apapun istilahnya, ke zaman depan.
Kesultanan Aceh tidak melaksanakan pembaharuan padahal ancaman perluasan kolonial, walau secara samar, sudah ada sejak akhir Perang Napoleon. Berdasar ketetapan para pemenang, wilayah jajahan Belanda yang sempat direbut Inggris harus dikembalikan kepada Belanda. Dan berdasar pengalaman yang lalu, Belanda pasti melanjutkan usaha perluasan wilayah jajahan, yang sempat tertunda akibat VOC bangkrut dan Revolusi Perancis I (1789-1815). Revolusi tersebut sempat menempatkan Belanda di bawah kekuasaan Perancis. Kelak niat tersebut terbukti dari beberapa manuver politik dan militer Belanda di Sumatera yang makin mendekati wilayah taklukan Aceh, namun entah kenapa Aceh tidak segera melaksanakan modernisasi.
Berbeda hal dengan Jepang. Begitu diketahui nafsu imperialis Barat ingin menempatkan Jepang di bawah kuasa mereka sebagai dampak “Perjanjian Shimoda” 1854, sekelompok samurai menyadari betapa penting melaksanakan modernisasi. Rezim Shogun (1192-1868) yang dinilai sebagai penghalang pembaharuan, ditumbangkan melalui revolusi yang tanpa diduga berkepanjangan hingga 1945, ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II (tanggal 1 September 1939 hingga 2 September). Revolusi tersebut mencakup pembangunan dan peperangan, walau akhirnya Jepang kalah perang namun pembaharuan yang dilaksanakan pada abad ke-19 tersebut menjadi dasar atau ilham kebangkitan Jepang pasca Perang Dunia II.
Pembaharuan yang ditempuh Jepang ketika itu agaknya memakai konsep “mengalah untuk menang”. Untuk meredam nafsu imperialis Barat, dengan cerdik Barat dirangkul dengan cara meniru kemajuan mereka. Para intelek Barat diundang untuk membangun Jepang, hasilnya “oke punya”: pada awal abad-20 Jepang boleh dianggap canggih setaraf Barat dan terhindar dari penaklukan oleh Barat hingga 1945.
No comments:
Post a Comment