GustiNobel :
Jembatan Golden Gate itu Kini Tinggal Kenangan
Lembu Suwana yang berwarna kuning keemasan dijadikan
lambang keagungan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi
Kalimantan Timur. Keagungan Kukar selain dimeteraikan dengan kekayaan
sumber daya alam, juga karena di kabupaten ini terdapat Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura yang merupakan kerajaan tertua di
Indonesia. Kukar dipenuhi obyek wisata yang yang eksotik dan menawan.
Daya pikat Kukar sungguh memikat.
Berkunjung ke kabupaten terkaya di Indonesia ini, serasa menikmati suasana Pulau Bali di bumi Kalimantan. Kukar memang berobsesi mengimbangi kepopuleran Bali yang sudah terkenal di seantero jagad.
Tak hanya soal wisata, Kukar juga kaya sumber daya alam, terutama minyak, gas bumi, dan batu bara. Di kabupaten ini, ada sejumlah perusahaan minyak internasional melakukan kegiatan, di antaranya PT Total Indonesia, Vico, Unocal, dan Exspan. Otonomi daerah yang lebih luas sebagai buah reformasi, membuat daerah ini makin kukuh mengatur keuangan daerahnya sendiri, sebagai kabupaten terkaya di Tanah Air.
Keagungan Kutai
Dimulai Kerajaan Kutai Martapura atau Martadipura yang berdiri abad IV di Martapura, Kecamatan Muara Kaman. Kemudian pada abad XIII seorang pembesar kerajaan Singosari, Raden Kesuma yang bergelar Aji Batara Agung Dewa Sakti, mendirikan Kerajaan Kutai Kartanegara di muara Sungai Mahakam.
Lalu kedua kerajaan tersebut disatukan pada abad XIII melalui perkawinan politik dan pada abad XVI melalui perang besar sehingga wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi sangat luas dan namanya berubah menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sampai sekarang.
Setelah Indonesia merdeka, Kesultanan Kutai Kartanegara berstatus Daerah Swapraja Kutai pada tahun 1947, masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir. Kemudian pada 27 Desember 1949 bergabung dalam Republik Indonesia Serikat.
Berbagai wisata dapat dinikmati di Kukar, mulai wisata alam yang eksotik, wisata budaya dan sejarah, wisata pendidikan, dan tempat rekreasi keluarga Pulau Kumala—delta ditengah Sungai Mahakam—menjadikan Kukar sebagai daerah tujuan wisata yang bisa memuaskan dahaga jiwa.
”Pesona wisata Kukar tak kalah dengan daerah lainnya. Dan, Pemkab Kukar juga berobsesi untuk mengimbangi popularitas Pula Bali,” ujar Kabag Humas Pemkab Kukar Sri Wahyuni.
Persada Kukar memang dipenuhi beragam keindahan, mulai dari panorama Sungai Mahakam yang berkelok-kelok, Bukit Bangkirai dengan jembatan kayunya, Museum Mulawarman, Pulau Kumala, jembatan ’golden gate’ Kartanegara, Planetarium, Kedaton Kasultanan Kutai, rumah adat (Lamin) Suku Dayak, hingga deburan pantai nan indah dan sejumlah obyek wisata lain yang memiliki daya pikat tersendiri.
”Kami akui, Kukar kian sering dikunjungi wisatawan dari berbagai belahan nusantara dan mancanegara. Tapi, itu belumlah memuaskan. Sebab, bila banyak yang sudah mengetahui berbagai keindahan dan keunikan Kukar, para wisatawan akan berminat kembali mengunjungi Kukar,” ujar Sri Wahyuni.
Museum Kayu Tuah Himba
Museum Kayu “Tuah Himba” terletak di kawasan objek wisata Waduk Panji Sukarame atau sekitar 3 km dari pusat kota Tenggarong. Di Museum Kayu Tuah Himba, ini terdapat beraneka macam koleksi yang berkaitan dengan kehutanan. Di antaranya koleksi daun-daun kering (herbarium), koleksi biji-bijian, koleksi potongan log atau batang pohon yang tumbuh di pulau Kalimantan, alat-alat pengolah kayu, alat-alat dapur tradisonal hingga perabot rumah tangga yang terbuat dari hasil hutan Kalimantan.
Selain menampilkan aneka macam koleksi hasil hutan, museum ini juga menampilkan koleksi dua ekor ‘monster’ buaya yang telah diawetkan ditaruh di dalam etalase kaca. Konon kisahnya, kedua ekor buaya muara (Crocodelus porosus) ini pernah menggegerkan masyarakat Kaltim pada tahun 1996 karena telah memangsa dua manusia di dua tempat terpisah dalam selisih waktu hanya satu bulan.
Lalu penduduk dipimpin pawang buaya yang sangat berpengalaman di Kutai, memburu dan membunuh kedua buaya ini untuk mengeluarkan potongan tubuh korban yang tertinggal di dalam perutnya. Setelah itu, diawetkan dan dipajang di Museum Kayu Tuah Himba.
Buaya pertama yang memangsa Ny Hairani (35) ditangkap pada 8 Maret 1996 di sungai Kenyamukan, Kecamatan Sangatta (kini masuk wilayah Kabupaten Kutai Timur setelah pemekaran). Buaya ini berkelamin jantan berusia sekitar 70 tahun, panjang sekitar 6,6 meter, berat 350 kg dan lingkar perut 1,8 meter. Sementara buaya kedua yang memangsa seorang pria bernama Baddu (40) di Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak (Kabupaten Kukar) ditangkap pada tanggal 10 April 1996. Buaya berkelamin betina ini memiliki panjang 5,5 meter, berat 200 kg dengan lingkar perut sekitar 1 meter.
Guntingan koran yang berisi berita mengerikan mengenai kedua buaya yang memangsa manusia ini, termasuk berita tertangkapnya buaya ini dipajang juga di museum ini. Museum ini buka setiap hari, kecuali Senin.
Waduk Panji Sukarame
Kawasan wisata alam Waduk Panji Sukarame terletak sekitar 3 km dari pusat kota Tenggarong, berdekatan dengan (sebelum) Museum Kayu Tuah Himba. Waduk ini tak lagi difungsikan untuk pengairan. Objek wisata ini diminati para wisatawan lokal dan kota-kota utama di Kaltim. Tempat ini ramai pada hari Sabtu dan Minggu atau hari libur nasional. Biasanya pengunjung datang dengan rombongan pelancong dari luar kota seperti Samarinda, Balikpapan, Bontang maupun kota-kota lainnya. Juga pasangan muda-mudi.
Para pelancong biasanya dengan santai berjalan kaki mengitari kawasan ini, melihat-lihat koleksi tanaman anggrek. Juga bersantai duduk-duduk di bawah pepohonan yang rindang, tenteram dan sejuk. Tak jarang rombongan pengunjung datang hanya untuk beristirahat makan siang di bawah rindang pepohonan itu.
Wisata Alam Bukit Bangkirai
Kawasan wisata alam Bukit Bangkirai terletak di Kecamatan Samboja, sekitar 150 km dari kota Tenggarong atau Samarinda dan hanya sekitar 58 km dari kota Balikpapan serta 20 km dari ibukota Kecamatan Samboja. Kawasan wisata alam ini, dapat ditempuh melalui jalan darat dengan menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua.
Di kawasan Bukit Bangkirai ini, wisatawan dapat menikmati suasana hutan hujan tropis yang masih alami. Juga kicauan burung dan suara-suara satwa hutan lainnya. Di sini juga terdapat canopy bridge atau jembatan tajuk yang digantung berketinggian 30 meter dari muka tanah menghubungkan lima pohon Bangkirai. Panjangnya sekitar 64 meter. Canopy bridge Bukit Bangkirai ini merupakan yang pertama di Indonesia, kedua di Asia dan yang kedelapan di dunia. Konstruksinya dibuat di Amerika Serikat. Keamanannya juga cukup terjamin. Untuk mencapai canopy bridge, ini terdapat dua menara dari kayu ulin yang didirikan mengelilingi batang pohon Bangkirai.
Jembatan gantung ini akan berayun manakala seseorang melintas di atasnya, apalagi saat mencapai separo jalan. Bagi orang yang tidak memiliki masalah terhadap ketinggian, berjalan menyusuri canopy bridge ini sungguh menyenangkan. Dari atas canopy bridge, wisatawan dapat dengan leluasa melihat panorama hutan hujan tropis (tropical rain forest) Bukit Bangkirai serta mengamati dari dekat formasi tajuk tegakan “dipteropcarpaceae” yang menjadi ciri khas hutan hujan tropis, yang membentuk stratum atas yang saling sambung menyambung.
Kawasan wisata alam Bukit Bangkirai, ini juga telah dilengkapi berbagai sarana dan prasarana, seperti restoran dengan menu yang cukup bervariasi, lamin untuk pertemuan yang mampu menampung 100 orang, serta penginapan berupa cottage dengan fasilitas AC. Juga jugle cabin, yakni cottage yang tidak dilengkapi fasilitas listrik sehingga wisatawan yang menginap dapat merasakan suasana hutan yang sebenarnya.
Kawasan Bukit Bangkirai seluas 1.500 hektare ini merupakan kawasan hutan konservasi. Kawasan ini mempunyai peran penting untuk mengembangkan monumen hutan alam tropika basah yang dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan lingkungan dan kehutanan.
Kawasan hutan wisata ini juga bertujuan untuk penelitian ilmiah serta meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap lingkungan dan hutan. Djamalludin Suryohadikusumo, Menteri Kehutanan RI pada Kabinet Pembangunan VI, yang meresmikan 510 hektare dari kawasan ini sebagai kawasan wisata dan penelitian ilmiah untuk meningkatkan kecintaan terhadap lingkungan terutama pada flora dan fauna, pada 14 Maret 1998.
Di kawasan wisata alam ini sangat dominan ditumbuhi pohon jenis Bangkirai. Sehingga kawasan ini diberi nama Bukit Bangkirai. Di kawasan ini banyak terdapat pohon Bangkirai yang berumur lebih dari 150 tahun dengan ketinggian mencapai 40 hingga 50 m, dengan diameter 2,3 m. Pertumbuhan banir (akar papan) yang besar dan kuat menjadikan pohon ini memiliki nilai keindahan tersendiri.
Diperkirakan terdapat 113 jenis burung yang hidup di kawasan Bukit Bangkirai ini. Kawasan ini menjadi tempat invasi burung dari wilayah Kawasan Hutan Taman Wisata Bukit Soeharto (sekitar 30 km) maupun wilayah sekitarnya jika terkena pengaruh kebakaran hutan. Pasalnya, secara geografis, kawasan ini termasuk dataran rendah (primary lowland) “Dipterocarp forest” yang stabil.
Di kawasan hutan lindung ini juga terdapat berbagai jenis fauna. Di antaranya, Owa-Owa (Hylobates muelleri), Beruk (Macaca nemestrina), Lutung Merah (Presbytus rubicunda), Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Babi Hutan (Susvittatus), Bajing Terbang (Squiler) serta Rusa Sambar (Corvus unicolor) yang telah ditangkarkan.
Di kawasan ini sedikitnya ada 45 jenis anggrek yang tumbuh secara alami di pepohonan yang masih hidup maupun yang sudah mati. Di antaranya, Anggrek Hitam (Coelegyne pandurata) yang sangat terkenal dan menjadi salah satu maskot Kalimantan Timur.
Golden Gate ala San Fransisco
Hal yang juga cukup menakjubkan di kota raja ini adalah sebuah jembatan berdesain indah yang membentang sepanjang 712 meter di atas Sungai Mahakam, laksana Golden Gate di San Fransisco. Lebih menarik dan mengagumkan lagi, pada malam hari, jembatan ini bertaburan cahaya terang benderang warna-warni. Jika ditatap dari kejauhan, seperti dari Hotel Singgasana yang memang sengaja dibangun di perbukitan yang agak tinggi, terasa kota ini menghadirkan rasa damai, sukacita dan hati yang berbunga-bunga. Segemerlap cahaya lampu yang menghiasi jembatan dan Pulau Wisata Kumala.
Begitu pula jalan menuju jembatan itu dari arah Samarinda penuh kilau cahaya terang dengan lalu lintas yang amat lancar, tenang dan relatif sepi. Tidak ada kemacetan dan jubelan penduduk dan pemukiman yang sumpek. Suatu suasana yang sungguh damai.
Namun, keindahan jembatan yang baru berusia 10 tahun ini, kini tinggal kenangan. Jembatan Mahakam yang menghubungkan Samarinda dan Balikpapan atau menghubungkan Tenggarong dengan Tenggarong Selatan, runtuh pada Sabtu (26/11) sekitar pukul 16.20 WITA. Keindahan jembatan itu sudah tak bersisa lagi. Dan kini tinggal kenangan saja.
Berkunjung ke kabupaten terkaya di Indonesia ini, serasa menikmati suasana Pulau Bali di bumi Kalimantan. Kukar memang berobsesi mengimbangi kepopuleran Bali yang sudah terkenal di seantero jagad.
Tak hanya soal wisata, Kukar juga kaya sumber daya alam, terutama minyak, gas bumi, dan batu bara. Di kabupaten ini, ada sejumlah perusahaan minyak internasional melakukan kegiatan, di antaranya PT Total Indonesia, Vico, Unocal, dan Exspan. Otonomi daerah yang lebih luas sebagai buah reformasi, membuat daerah ini makin kukuh mengatur keuangan daerahnya sendiri, sebagai kabupaten terkaya di Tanah Air.
Keagungan Kutai
Dimulai Kerajaan Kutai Martapura atau Martadipura yang berdiri abad IV di Martapura, Kecamatan Muara Kaman. Kemudian pada abad XIII seorang pembesar kerajaan Singosari, Raden Kesuma yang bergelar Aji Batara Agung Dewa Sakti, mendirikan Kerajaan Kutai Kartanegara di muara Sungai Mahakam.
Lalu kedua kerajaan tersebut disatukan pada abad XIII melalui perkawinan politik dan pada abad XVI melalui perang besar sehingga wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi sangat luas dan namanya berubah menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sampai sekarang.
Setelah Indonesia merdeka, Kesultanan Kutai Kartanegara berstatus Daerah Swapraja Kutai pada tahun 1947, masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir. Kemudian pada 27 Desember 1949 bergabung dalam Republik Indonesia Serikat.
Berbagai wisata dapat dinikmati di Kukar, mulai wisata alam yang eksotik, wisata budaya dan sejarah, wisata pendidikan, dan tempat rekreasi keluarga Pulau Kumala—delta ditengah Sungai Mahakam—menjadikan Kukar sebagai daerah tujuan wisata yang bisa memuaskan dahaga jiwa.
”Pesona wisata Kukar tak kalah dengan daerah lainnya. Dan, Pemkab Kukar juga berobsesi untuk mengimbangi popularitas Pula Bali,” ujar Kabag Humas Pemkab Kukar Sri Wahyuni.
Persada Kukar memang dipenuhi beragam keindahan, mulai dari panorama Sungai Mahakam yang berkelok-kelok, Bukit Bangkirai dengan jembatan kayunya, Museum Mulawarman, Pulau Kumala, jembatan ’golden gate’ Kartanegara, Planetarium, Kedaton Kasultanan Kutai, rumah adat (Lamin) Suku Dayak, hingga deburan pantai nan indah dan sejumlah obyek wisata lain yang memiliki daya pikat tersendiri.
”Kami akui, Kukar kian sering dikunjungi wisatawan dari berbagai belahan nusantara dan mancanegara. Tapi, itu belumlah memuaskan. Sebab, bila banyak yang sudah mengetahui berbagai keindahan dan keunikan Kukar, para wisatawan akan berminat kembali mengunjungi Kukar,” ujar Sri Wahyuni.
Museum Kayu Tuah Himba
Museum Kayu “Tuah Himba” terletak di kawasan objek wisata Waduk Panji Sukarame atau sekitar 3 km dari pusat kota Tenggarong. Di Museum Kayu Tuah Himba, ini terdapat beraneka macam koleksi yang berkaitan dengan kehutanan. Di antaranya koleksi daun-daun kering (herbarium), koleksi biji-bijian, koleksi potongan log atau batang pohon yang tumbuh di pulau Kalimantan, alat-alat pengolah kayu, alat-alat dapur tradisonal hingga perabot rumah tangga yang terbuat dari hasil hutan Kalimantan.
Selain menampilkan aneka macam koleksi hasil hutan, museum ini juga menampilkan koleksi dua ekor ‘monster’ buaya yang telah diawetkan ditaruh di dalam etalase kaca. Konon kisahnya, kedua ekor buaya muara (Crocodelus porosus) ini pernah menggegerkan masyarakat Kaltim pada tahun 1996 karena telah memangsa dua manusia di dua tempat terpisah dalam selisih waktu hanya satu bulan.
Lalu penduduk dipimpin pawang buaya yang sangat berpengalaman di Kutai, memburu dan membunuh kedua buaya ini untuk mengeluarkan potongan tubuh korban yang tertinggal di dalam perutnya. Setelah itu, diawetkan dan dipajang di Museum Kayu Tuah Himba.
Buaya pertama yang memangsa Ny Hairani (35) ditangkap pada 8 Maret 1996 di sungai Kenyamukan, Kecamatan Sangatta (kini masuk wilayah Kabupaten Kutai Timur setelah pemekaran). Buaya ini berkelamin jantan berusia sekitar 70 tahun, panjang sekitar 6,6 meter, berat 350 kg dan lingkar perut 1,8 meter. Sementara buaya kedua yang memangsa seorang pria bernama Baddu (40) di Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak (Kabupaten Kukar) ditangkap pada tanggal 10 April 1996. Buaya berkelamin betina ini memiliki panjang 5,5 meter, berat 200 kg dengan lingkar perut sekitar 1 meter.
Guntingan koran yang berisi berita mengerikan mengenai kedua buaya yang memangsa manusia ini, termasuk berita tertangkapnya buaya ini dipajang juga di museum ini. Museum ini buka setiap hari, kecuali Senin.
Waduk Panji Sukarame
Kawasan wisata alam Waduk Panji Sukarame terletak sekitar 3 km dari pusat kota Tenggarong, berdekatan dengan (sebelum) Museum Kayu Tuah Himba. Waduk ini tak lagi difungsikan untuk pengairan. Objek wisata ini diminati para wisatawan lokal dan kota-kota utama di Kaltim. Tempat ini ramai pada hari Sabtu dan Minggu atau hari libur nasional. Biasanya pengunjung datang dengan rombongan pelancong dari luar kota seperti Samarinda, Balikpapan, Bontang maupun kota-kota lainnya. Juga pasangan muda-mudi.
Para pelancong biasanya dengan santai berjalan kaki mengitari kawasan ini, melihat-lihat koleksi tanaman anggrek. Juga bersantai duduk-duduk di bawah pepohonan yang rindang, tenteram dan sejuk. Tak jarang rombongan pengunjung datang hanya untuk beristirahat makan siang di bawah rindang pepohonan itu.
Wisata Alam Bukit Bangkirai
Kawasan wisata alam Bukit Bangkirai terletak di Kecamatan Samboja, sekitar 150 km dari kota Tenggarong atau Samarinda dan hanya sekitar 58 km dari kota Balikpapan serta 20 km dari ibukota Kecamatan Samboja. Kawasan wisata alam ini, dapat ditempuh melalui jalan darat dengan menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua.
Di kawasan Bukit Bangkirai ini, wisatawan dapat menikmati suasana hutan hujan tropis yang masih alami. Juga kicauan burung dan suara-suara satwa hutan lainnya. Di sini juga terdapat canopy bridge atau jembatan tajuk yang digantung berketinggian 30 meter dari muka tanah menghubungkan lima pohon Bangkirai. Panjangnya sekitar 64 meter. Canopy bridge Bukit Bangkirai ini merupakan yang pertama di Indonesia, kedua di Asia dan yang kedelapan di dunia. Konstruksinya dibuat di Amerika Serikat. Keamanannya juga cukup terjamin. Untuk mencapai canopy bridge, ini terdapat dua menara dari kayu ulin yang didirikan mengelilingi batang pohon Bangkirai.
Jembatan gantung ini akan berayun manakala seseorang melintas di atasnya, apalagi saat mencapai separo jalan. Bagi orang yang tidak memiliki masalah terhadap ketinggian, berjalan menyusuri canopy bridge ini sungguh menyenangkan. Dari atas canopy bridge, wisatawan dapat dengan leluasa melihat panorama hutan hujan tropis (tropical rain forest) Bukit Bangkirai serta mengamati dari dekat formasi tajuk tegakan “dipteropcarpaceae” yang menjadi ciri khas hutan hujan tropis, yang membentuk stratum atas yang saling sambung menyambung.
Kawasan wisata alam Bukit Bangkirai, ini juga telah dilengkapi berbagai sarana dan prasarana, seperti restoran dengan menu yang cukup bervariasi, lamin untuk pertemuan yang mampu menampung 100 orang, serta penginapan berupa cottage dengan fasilitas AC. Juga jugle cabin, yakni cottage yang tidak dilengkapi fasilitas listrik sehingga wisatawan yang menginap dapat merasakan suasana hutan yang sebenarnya.
Kawasan Bukit Bangkirai seluas 1.500 hektare ini merupakan kawasan hutan konservasi. Kawasan ini mempunyai peran penting untuk mengembangkan monumen hutan alam tropika basah yang dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan lingkungan dan kehutanan.
Kawasan hutan wisata ini juga bertujuan untuk penelitian ilmiah serta meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap lingkungan dan hutan. Djamalludin Suryohadikusumo, Menteri Kehutanan RI pada Kabinet Pembangunan VI, yang meresmikan 510 hektare dari kawasan ini sebagai kawasan wisata dan penelitian ilmiah untuk meningkatkan kecintaan terhadap lingkungan terutama pada flora dan fauna, pada 14 Maret 1998.
Di kawasan wisata alam ini sangat dominan ditumbuhi pohon jenis Bangkirai. Sehingga kawasan ini diberi nama Bukit Bangkirai. Di kawasan ini banyak terdapat pohon Bangkirai yang berumur lebih dari 150 tahun dengan ketinggian mencapai 40 hingga 50 m, dengan diameter 2,3 m. Pertumbuhan banir (akar papan) yang besar dan kuat menjadikan pohon ini memiliki nilai keindahan tersendiri.
Diperkirakan terdapat 113 jenis burung yang hidup di kawasan Bukit Bangkirai ini. Kawasan ini menjadi tempat invasi burung dari wilayah Kawasan Hutan Taman Wisata Bukit Soeharto (sekitar 30 km) maupun wilayah sekitarnya jika terkena pengaruh kebakaran hutan. Pasalnya, secara geografis, kawasan ini termasuk dataran rendah (primary lowland) “Dipterocarp forest” yang stabil.
Di kawasan hutan lindung ini juga terdapat berbagai jenis fauna. Di antaranya, Owa-Owa (Hylobates muelleri), Beruk (Macaca nemestrina), Lutung Merah (Presbytus rubicunda), Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Babi Hutan (Susvittatus), Bajing Terbang (Squiler) serta Rusa Sambar (Corvus unicolor) yang telah ditangkarkan.
Di kawasan ini sedikitnya ada 45 jenis anggrek yang tumbuh secara alami di pepohonan yang masih hidup maupun yang sudah mati. Di antaranya, Anggrek Hitam (Coelegyne pandurata) yang sangat terkenal dan menjadi salah satu maskot Kalimantan Timur.
Golden Gate ala San Fransisco
Hal yang juga cukup menakjubkan di kota raja ini adalah sebuah jembatan berdesain indah yang membentang sepanjang 712 meter di atas Sungai Mahakam, laksana Golden Gate di San Fransisco. Lebih menarik dan mengagumkan lagi, pada malam hari, jembatan ini bertaburan cahaya terang benderang warna-warni. Jika ditatap dari kejauhan, seperti dari Hotel Singgasana yang memang sengaja dibangun di perbukitan yang agak tinggi, terasa kota ini menghadirkan rasa damai, sukacita dan hati yang berbunga-bunga. Segemerlap cahaya lampu yang menghiasi jembatan dan Pulau Wisata Kumala.
Begitu pula jalan menuju jembatan itu dari arah Samarinda penuh kilau cahaya terang dengan lalu lintas yang amat lancar, tenang dan relatif sepi. Tidak ada kemacetan dan jubelan penduduk dan pemukiman yang sumpek. Suatu suasana yang sungguh damai.
Namun, keindahan jembatan yang baru berusia 10 tahun ini, kini tinggal kenangan. Jembatan Mahakam yang menghubungkan Samarinda dan Balikpapan atau menghubungkan Tenggarong dengan Tenggarong Selatan, runtuh pada Sabtu (26/11) sekitar pukul 16.20 WITA. Keindahan jembatan itu sudah tak bersisa lagi. Dan kini tinggal kenangan saja.
No comments:
Post a Comment